Minggu, 14 Agustus 2011 | By: djoe

KUPASAN AL-QUR’AN TENTANG GENDER


Berbicara tentang gender, mengantarkan kita pada akar kata dari Gender dan pengertiannya. Gender (dibaca Jender) berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin (John M. Echols & Hassan Shadily, 1983). Dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distition) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Sedang gender pengertiannya dalam Islam dapat dilihat dalam penggunaan kata al-dzakar dan al-untsa di sejumlah ayat Al-Qur’an. Dalam tradisi bahasa Arab, kata al-dzakar berakar dari kata dzal-kaf-ra berarti mengisi, menuangkan, menyebutkan, mengingat; al dzakariah berarti mempelajari, al dzikru jamaknya al dzukur bermakna laki-laki atau jantan (Al Munawar, hal.483). Al dzakar berkonotasi pada persoalan biologis (seks) sebagai lawan kata al-untsa, dalam bahasa Inggris disebut  male lawan dari Female, digunakan pada jenis manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan (Al Maurid, hal. 553). Kata dzakar disebut dalam Al Qur’an sebanyak 18 kali (Al Mu’jam al Mufahras li Alfadz Alqur’an, hal. 275) lebih banyak digunakan untuk menyatakan laki-laki dilihat dari faktor bilologis (seks). Kata al untsa berasal dari kata alif-nun-tsa berarti lemas, lembek, halus. Lafal untsa terulang sebanyak 30 kalidalam berbagai pecahannya yang pada umumnya menunjukkan jenis perempuan dan aspek biologis (seks)nya. Dengan demikian, lafal al dzakaru dan al untsa dipergunakan untuk menunjuk laki-laki dan perempuan dari aspek biologis (seks)nya (Nasaruddin Umar, 1999: 167).
Dalam Islam tidak terdapat kata yang sama persis dengan gender, namun ketika Al Qur’an berbicara tentang gender, Ia menggunakan beberapa kata yang dapat dipergunakan untuk menelaah secara kritis dalam permasalahan kesetaraan laki-laki – perempuan dan relasi keduanya. Kata gender, secara persis tidak didapati dalam Al Qur’an, namun kata yang dipandang dekatdengan kata gender jika ditinjau dari peran fungsi dan relasi adalah kata al rijal dan al nisa.
Kata al rijal bentuk jamak dari kata rajulun (al Munjid al Abjadi, 1968: 477) yang berasal dari kata ra-jim-lam kemudian membentuk kata pecahannya seperti: ra-ja-la (mengikat), ra-ji-la (berjalan kaki), rijlun (telapak kaki), rijlah (tumbuh-tumbuhan) dan al rajul (laki-laki). Dalam ungkapan Arab, kata al rajul diartikan dengan laki-laki, lawan perempuan. Kata al rajul  umumnya digunakan untuk laki-laki yang sudah dewasa, dalam bahasa Inggris sama dengan man. Dalam surat Al Baqarah (2) : 282 disebutkan kata rajul mempunyai kriteria tertentu, bukan hanya mengacu pada jenis kelamin, tetapi juga kualifikasi budaya tertentu, terutama sifat kejantanan (masculinity). Oleh karena itu, tradisi bahasa Arab menyebut perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan dengan rajulah. Kat al rijal jamak dari al rajul  menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Kata al rujul dalam Al Qur’an disebutkan sebanyak 55 kali, dan mempunyai berbagai makna, antara lain berarti gender laki-laki tertentu dengan kapasitas tertentu pula, seperti pelindung, pemimpin, orang laki-laki maupun perempuan, nabi atau rasul, (QS. Al Anbiya’ (21): 7) tokoh masyarakat, (QS. Yasin (36): 20) budak atau hamba sahaya.
Kata al nisa adalah bentuk jamak dari al mar’ah berarti perempuan yang telah matang atau dewasa (Lisan Al Arab: 321 / Mu’jam Muffakhrasli Alfadz Al Qur’an: 513). Kata al nisa sepadan dengan kata al rijal. Dalam bahsa Inggris disebut dengan woman, jamkanya women, lawan kata dari man. Dalam Al Qur’an kata al nisa dengan berbagai pecahannya terulang sebanyak 59 kali. Dengan makna gender adalah perempuan ata isti-istri. Penggunaan kata al nisa lebih terbatas dinandingkan dengan kata al rijal . pada umumnya, nisa digunakan untuk perempuan yang sudah dewasa, berkeluarga, janda bukan perempuan dibawah umur dan lebih banyak digunakan dalam konteks tugas-tugas reproduksi perempuan. Dengan demikian, al rajul dan al nisa berkonotasi laki-laki dan perempun dalam relasi gender (Nasaruddin Umar, 1999: 167).
Jika pembahasan ini dilihat dari aspek perbedaan seks dan gender dikaitkan dengan teori-teori sosial yang berkembang dari waktu ke waktu maka terjadi dialektika yang menarik untuk dikritisi. Paradigma yang digunakan untuk mendasari teori-teori dalam pembahasan ini mencakup paradigma Aristoteian da paradigma Galilean yangberangkat  dari studi ilmu-ilmu alam, kemudian ditarik kepada ilmu-ilmu sosial. Perbincangan klasik keduanya mempertanyakan deterministik dan inderministik (Soetandyo: 2003).
Sejak awal abad 20 lahir gerakan feminisme dalam Islam. Gerakan ini bertujuan memperjuangkan perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih adil bagi laki-laki dan perempuan . para feminis muslim, awalnya bermaksud menepis tuduhan bahwa Islam adalah agama yang menindas perempuan. Penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat disebabkan oleh adanya sistem yang tidak adil dan manusiawi. Feminisme Islam mengam bil ayat-ayat Al Qur’an dan hadis nabi sebagai dasr pijakan teori maupun praktik. Untuk itu, laki-laki dan perempuan Islam didorong agar melakukan perubahan konstruk pemahaman yang keliru terhadap gender dalam pendekatan Islam.  
Mensinyalir dari salah satu ayat Al Qur’an yakni QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إنّاَ خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى وَ جَعَلْنَاكُمْ شُعُوْ بًا وَ قَبَائِلَ لِتَعَارَفُوْا إِنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أثْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ  .
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Disini penulis mencoba menginterprestasi dari berbagai ilmu yang dimiliki oleh ilmu tafsir, hingga permaknaan gender mampu menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya, bahwa “perempuan” bukanlah ditempatkan sebagai konco wingking atau sebagai alas kaki. Bahkan sebaliknya, juga bukan sebagai sosok terdepan dari seorang laki-laki. Tetapi merupakan “mitra sejajar” sebagai patner seorang laki-laki. Banyak ayat dari Al Qur’an yang berbicara tentang asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia, baik lelaki maupun perempuan yang dasar kemuliannya bukan keturunan, suku atau jenis kelamin melainkan ketakwaan kepada Allah SWT. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al Qur’an mempunyai kedudukan terhormat.
Penggalan pertama ayat di atas sesungguhnya Kami mencipatakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua manusia derajat kemanusiaannya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan karena semua diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pengantr tersebut mengantar pada kesimpulan yang disebut oleh penggalan terakhir ayat ini yakni “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa.” Karena itu berusahalah ntuk menigkatkan ketakwaan agar menjadi yang termulia di sisi Allah.
Asbabun Nuzul dari ayat di atas diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar  mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh Al Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaan.
Mufrodat: Kata (شعوب ) syu’ub adalah bentuk jamak dari kata (شعب ) sya’b. kata ini digunakan  untuk menujuk kumpulan dari sekian (قبيلة ) qabilah yang bisa diterjemahkan suku yang merujuk kepada satu kakek. Qabilah/suku pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai (عمارة ) ‘imarah, dan yang ini terdiri lagi dari sekian banyak kelompok yang dinamai (بطن ) bathn. Di bawah ini bathn ada sekian (فخذ ) fakhdz hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil.       
Kata (تعارفوا ) ta’arafu terambil dari kata (عرف ) ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian ia berarti saling mengenal.
Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Anda tidak dapat menarik pelajaran, tidak dapat saling melengkapi dan menarik manfaat bahkan tidak dapat bekerja sama tanpa saling kenal-mengenal. Saling mengenal yang digaris bawahi oleh ayat di atas dalah “pancing”nya bukan “ikan”nya. Yang ditekankan adalah caranya bukan manfaatnya, karena seperti kata orang, memberi “pancing” jauh lebih baik dari pada memberi “ikan”.
Kata (أكرمكم ) akramakum terambil dari kata (كرم ) karuma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai objeknya. Manusia yang baik dan istimewa adalah yang memiliki akhlak yang baik terhadap Allah, dan terhadap semua makhluk.
Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dan karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara bahkan tidak jarang mengantr pemiliknya kepada kebinasaan. Jika demikian, hal-hal tersebut bukanlah sumber-sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiakan secara terus-menerus. Kemuliaan abadi dan langgeng itu ada di sisi Allah SWT. dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepada-Nya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa, dan dengan demikian yang palingmulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Sifat (عليم ) ‘Alim dan (خبير ) Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu. Penekanannya adalah pada dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui – bukan peda sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu.
Penutup ayat di atas (إنّ الله عليم خبير ) inna Allaha ‘Alim(un) Khabir / sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal yakni menggabung dua sifat Allah yang bermakna mirip itu, hanya ditemukan tiga kali dalam Al Qur’an. Konteks ketiganya adalah pada hal-hal yang mustahil, atau amat sangat sulit diketahui manusia. Pertama tempat kematian seseorang yakni firman-Nya dalam QS. Luqman (31): 34.
Kedua, adalah rahasia yang sangat dipendam. Dalam hal ini kasus pembicaraan manusia antara istri-istri Nabi S.A.W., ‘Aisyah dan Hafshah menyangkut sikap mereka kepada Rasul yang lahir akibat kecemburuan terhadap istri Nabi yang lain, Zainab r.a. dalam QS. At-Tahrim (66): 3.
Ketiga, adalah kualitas ketakwaan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah. Yaitu ayat yang ditafsirkan di atas. Ini berarti bahwa adalah sesuatu yang sangat sulit bahkan mustahil, seorang manusia dapat menilai kadar dan kualitas keimanan serta ketakwaan seseorang. Yang mengetahuinya adalah Allah SWT.        
           
REFERENSI :
1.        Al-Qur’an dan Terjemahannya, DEPAG RI.
2.        Kamus Bahasa Inggris, John M. Echols & Hassan Shadly, 1983.
3.        Kamus Al-Munawwar.
4.         Paradigma Gender, Dra. Mufidah ch, M. Ag., 2004.
5.        Tafsir Al-Misbach, M. Quraish Shihab, 2002.
6.        Wawasan Al-Qur’an, M. Quraish Shihab, 1996

by : S.MUSDALIFAH, M.Pd.I

0 komentar:

Posting Komentar